I’tikaf adalah ‘tinggal di masjid dengan niat tertentu dan dengan tata cara tertentu’. Tempat i’tikaf: di masjid yang digunakan untuk shalat berjemaah, meskipun tidak digunakan untuk jumatan seperti mushalla.
Allah berfirman, yang artinya, “Janganlah kalian melakukan hubungan suami-istri ketika kalian sedang i’tikaf di masjid ….” (Q.s. Al-Baqarah:187)
Imam Al-Bukhari membuat judul bab “Bab (anjuran) i’tikaf di sepuluh hari terakhir dan (boleh) i’tikaf di semua masjid“. (Shahih Bukhari, 7:382)
Kapan memulai i’tikaf (iktikaf)?
Dianjurkan untuk memulai i’tikaf di malam tanggal 21 setelah magrib, kemudian mulai masuk ke tempat khusus (semacam tenda atau sekat) setelah subuh pagi harinya (tanggal 21 Ramadan).
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aku membuatkan tenda untuk beliau. Lalu beliau shalat subuh kemudian masuk ke tenda i’tikafnya.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Rukun i’tikaf (iktikaf)
- Niat. Letak niat itu di hati dan tidak boleh dilafalkan. Sebatas keinginan untuk itikaf itu sudah dianggap berniat untuk i’tikaf.
- Dilakukan di masjid, baik masjid untuk jumatan mauapun yang tidak digunakan untuk jumatan.
- Menetap di masjid.
Pembatal i’tikaf (iktikaf)
- Hubungan biologis dan segala pengantarnya.
- Keluar masjid tanpa kebutuhan.
- Haid dan nifas.
- Gila atau mabuk.
Yang diperbolehkan ketika i’tikaf (iktikaf)
- Keluar masjid karena kebutuhan mendesak, seperti: makan, buang hajat, dan hal lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.
- Mengeluarkan sebagian anggota badan dari masjid.
- Makan, minum, tidur, dan berbicara.
- Wudhu di masjid.
- Bermuamalah dan melakukan perbuatan (selain ibadah) di masjid, kecuali jual beli.
- Menggunakan minyak rambut, parfum, dan semacamnya.
Yang dimakruhkan ketika i’tikaf (iktikaf)
- Menyibukkan diri dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, baik ucapan maupun perbuatan.
- Tidak mau berbicara ketika i’tikaf (iktikaf), dengan anggapan itu merupakan bentuk ibadah. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya.
Mandi ketika i’tikaf (iktikaf)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa hukum mandi ketika i’tikaf dibagi menjadi tiga:
- Wajib, yaitu mandi karena junub.
- Boleh, yaitu mandi untuk menghilangkan bau badan dan kotoran yang melekat di badan.
- Terlarang, yaitu mandi sebatas untuk mendinginkan badan. (Majmu’ fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin, 20:178)
I’tikaf (iktikaf) bagi wanita
- Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau sendirian, dengan syarat: ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman dari fitnah atau berdua-duaan dengan laki-laki. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….” (H.r. Al-Bukhari)
Batasan “dianggap telah keluar masjid”
Orang yang i’tikaf dianggap keluar masjid jika dia keluar dengan seluruh badannya. Jika orang i’tikaf hanya mengeluarkan sebagian badannya maka tidak disebut keluar masjid.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke ruanganku ketika aku berada di dalam, kemudian aku menyisir rambut beliau, sedangkan aku dalam kondisi haid.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Catatan: Pintu ruangan Aisyah mepet dengan Masjid Nabawi.
Allahu a’lam.
***
Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
0 comments:
Posting Komentar